Jumat, 23 Januari 2015

Jangan Mudah Melupakan Bencana

Sistem peringatan dini merupakan lompatan besar, tetapi tidak cukup mengandalkan pada itu. Sistem harus diperkuat dan dibarengi pendidikan dan infrastruktur memadai. SATU dekade yang lalu, salah satu gempa bumi terbesar yang pernah tercatat terjadi di lepas pantai Indonesia, memicu tsunami yang menyapu seluruh masyarakat di sekitar Samudra Hindia.

Pagi itu, Minggu 26 Desember 2004, bumi Aceh bergo yang bak beras yang diayak keras-keras. Gempa berkekuat an 9,3 pada skala Richter di kedalaman 10 km mengguncang lepas pantai barat Aceh, menyebabkan serangkaian gelombang besar atau tsunami di Samudra Hindia, dari Indonesia ke India hingga pantai timur Afrika.

Tak kurang dari 230 ribu nyawa melayang dalam sekejap di seluruh tepian dunia yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Bumi Serambi Mekah merupakan wilayah terdampak dengan korban jiwa terbesar. Sedikitnya 170 ribu orang tewas dan 500 ribu jiwa lainnya kehilangan tempat tinggal. Selain itu, sebanyak 37 ribu orang dinyatakan hilang.

Kini, bertepatan dengan peringatan 10 tahun tragedi tsunami tersebut, para ahli memberi peringatan bahwa memori akan hari yang memilukan itu cenderung mememudar. Bahkan fenomena itu tenggelam dan makin diperparah oleh ketidaksiapsiagaan dalam hal mitigasi bencana.

“Ketika Anda lupa, Anda tidak akan mempersiapkan (diri dari bencana),” kata Margareta Wahlstroem, Kepala Kantor Perserikatan BangsaBangsa (PBB) untuk Pengurangan Risiko Bencana, yang memainkan peran utama dalam mengatur respons PBB dan pemulihan tsunami satu dekade lalu.

Wahlstroem memperingatkan seharusnya negara-negara dan warga dunia lebih mawas diri terhadap tragedi atau bencana. Pasalnya, kata dia, sikap yang disebutnya sebagai disaster amnesia bisa mengancam dan melemahkan sistem ketahanan.
“Anda rileks, dan itu berbahaya. Salah satu tantangan besar dalam mengurangi risiko bencana ialah tetap mengingat pemahaman akan bencana,“ tegasnya.

Gelombang tsunami dipicu gempa di Aceh menghantam setidaknya 15 negara. Di kawasan Asia Tenggara, selain Indonesia, tsunami menewaskan 5,3 ribu orang di Thailand, Myanmar (61 orang), dan Malaysia (58 orang). Saat mengarah ke Asia Selatan, tsunami memukul Sri Lanka dan menyebabkan 35 ribu orang tewas, juga di India (12 ribu orang), dan Bangladesh (2 orang).

Selain itu, hempasan tsunami juga mendera negara-negara yang berjarak berjauhan dari Indonesia, di antaranya Somalia, Maladewa, Tanzania, Seychelles, Afrika Selatan, Kenya, Madagaskar, dan Yaman. Jumlah korban yang meninggal di setiap negara-negara tersebut tak lebih dari 82 orang.

Di antara korban itu ialah ribuan wisatawan asing, mayoritas yang sedang menikmati libur Natal di pantai barat daya Thailand.Penguatan sistem Berkaca kepada tragedi tsunami dan untuk mencegah kerugian besar yang ditimbulkan, telah diluncurkan sistem peringatan tsunami Samudra Hindia. Sistem itu berpusat di Indonesia, Australia, India, dan telah beroperasi sejak 2011.
Jaringan sistem itu termasuk alat pengukur pasang surut dan monitor seismik untuk memperingatkan negara-negara lain di wilayah yang rawan dihantam tsunami di masa mendatang.

Profesor Kerry Sieh pada Nanyang Technological University, Singapura, mengatakan sistem peringatan dini merupakan lompatan besar ke depan, tetapi tidak cukup dengan hanya mengandalkan pada itu.

“Sistem itu juga harus diperkuat dan dibarengi pendidikan dan infrastruktur yang memadai,“ katanya, sambil menunjuk pentingnya langkah-langkah seperti perencanaan jalan yang lebih lebar untuk proses evakuasi bencana. (AFP/AP/ BBC/Hym/X-7) Media Indonesia, 26/12/2014 halaman 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar